Kejujuran dapat dimaknai sebagai sikap
terpuji dan mulia melalui perbuatan tidak berbohong, berkata apa adanya, dan
mengakui kesalahan diri sendiri. Tidak semua orang menerapkan sikap kejujuran
dalam kehidupan. Berbagai alasan disampaikan untuk membela diri. Memang jujur
terkadang terasa pahit, tidak semanis gula yang selalu dikerubutin semut.
Namun, kejujuran akan memberikan dampak positif , dalam waktu dekat atau lama,
oleh diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, memiliki kepribadian yang
selalu mengedepankan kejujuran adalah penting.
Kejujuran akan senantiasa melekat pada
diri seseorang jika sudah menjadi kebiasaan. Penanaman sikap kejujuran sejak
dini pada anak-anak dapat membentuk kepribadian yang berkarakter. Di era
digital sekarang sulit sekali menemukan generasi yang berkarakter kuat, banyak
karakter yang tergoyahkan oleh kecanggihan teknologi dan budaya hedonis.
Pembentukan karakter bagi anak tidaklah susah dan mahal, tetapi perlu komitmen
yang kuat. Sikap kejujuran adalah salah satu karakter penting untuk
ditumbuh-kembangkan pada generasi Indonesia sekarang. Tidak bisa dibayangkan di
masa depan apakah bisa ditemukan generasi yang menyebut dirinya sebagai “Aku
Anak Jujur”. Kondisi sekarang sungguh memprihatinkan lihat saja budaya
contek-mencontek masih subur di pelajar, jalur belakang bagi siswa mampu masih
terbuka lebar, dan pasar kunci jawaban buka lapak di musim UNAS. Diperparah
contoh buruk pejabat negara yang melakukan korupsi semakin merajalela.
Andaikan saja setiap orang tua memiliki
kesadaran yang sama, bahwa kejujuran adalah karakter yang harus ditanamkan pada
generasi muda sesuai jiwa Pancasila. Mungkin kepribadian luhur yang
diteladankan oleh Founding Father
bangsa ini akan tumbuh kuat. Secara tidak langsung setiap orang tua akan
melaksanakan amanah UUD 1945 dan berkontribusi dalam pembangunan negara. Aksi
nyata yang dapat dilakukan tidak mengharuskan orang tua berbekal pendidikan
tinggi apalagi ahli di bidang hukum dan politik, cukup bermodal komitmen kuat,
meneruskan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pendidikan orang tuaku bisa dibilang rendah,
Ayah di bangku SD saja tidak tamat, Ibu lebih baik sedikit karena mampu
menamatkan SMP. Mereka memiliki impian agar anaknya kelak bisa menjadi generasi
harapan bangsa, tentunya yang berkarakter dan berkepribadian luhur. Bermodal
komitmen kuat mereka menanamkan karakter-karakter terpuji, salah satunya
kejujuran. Tentu mereka ingin anak semata wayangnya menjadi bagian dari
generasi yang layak mendeklarasikan diri sebagai “Aku Anak Jujur”.
Pembentukan sikap kejujuran di keluarga
didukung oleh latar belakang adat istiadat Jawa yang masih melekat kental.
“Kalau mau pakai barang milik teman, harus izin dulu,” pesan Ibu padaku di
waktu kanak-kanak. Tentu di usia balita setiap anak pasti tertarik untuk
mencoba mainan milik temannya, sehingga Ibu berpesan agar meminta izin sebelum
dipakai, tidak langsung pakai atau ambil. Kalau langsung ambil atau pakai
barang milik orang lain tentu dikira orang tuanya tidak mengajari sopan santun.
Tentu teman bermainku ada yang mau meminjami dan ada yang melarang, namanya
juga anak-anak.
Masuk di bangku SD Ibu mengarahkanku
pada budaya anti-contek. “Ibu akan bangga pada hasil jerih payahmu, meskipun
jelek. Kalau bagus tapi hasil mencontek, Ibu bakal kecewa,” ucap Ibu padaku. Di
sekolah ketika ujian berlangsung aku menemukan teman yang mencontek, melihat
catatan atau menyalin pekerjaan teman. Sesuai pesan Ibu, aku harus mengerjakan
dengan kemampuanku, memang soalnya susah bagi setiap siswa termasuk aku. Ketika
hasil ulangan dibagikan, angka 6 tertulis jelas di pojok kanan atas lembar
jawabanku. “Ya tidak apa-apa dapat nilai 6, daripada di bawahnya,” komentar Ibu
ketika kuberikan lembar jawabanku. “Nanti dipelajari lagi bagian yang kamu
tidak bisa mengerjakan,” sambung Ibu sambil memelukku. Aku senang pada Ibu,
kalau teman-temanku dapat nilai jelek justru dimarahi tetapi Ibu tidak seperti
itu, Justru Ibu memotivasi dan memuji perjuanganku. Ibu menepati ucapannya yang
pernah disampaikan padaku.
Selanjutnya aku selalu membudayakan
untuk anti-contek dalam urusan ulangan atau ujian apapun. Pernah ketika di
bangku SMA aku memiliki beberapa teman sekelas yang punya budaya mencontek.
Kuceritakan pada Ibu tentang kebiasan buruk beberapa teman baru di bangku SMA
yang menggoda pertahanan budaya anti-contek. “Kalau terbiasa mencontek, nanti
bisa terjebak. Percuma nanti ijazah nilainya bagus, tetapi ketika interview
tidak bisa apa-apa,” nasihat Ibu padaku. Semenjak itu aku semakin mantap
menerapkan budaya anti-contek hingga di bangku perguruan tinggi. Aku tidak
ingin terjebak dan terperangkap pada ranjau yang dibuat oleh diri sendiri.
Jalur belakang yang mulus tanpa hambatan
terkadang menggoda iman. Namun, tidak semua orang bisa mengakses ke sana. Mungkin
tahu tapi tidak tahu gerbang masuknya ada di aman, atau tahu gerbang masuknya
tapi tak mampu membayar karcis. Ayah dan Ibu tidak pernah mengenalkanku pada
jalur belakang. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan selalu menggunakan
emampuan yan terwakilkan selembar ijazah atau tes. Berkat nilai UNAS SD dengan
nilai rata-rata 8,56 mengantarkanku di SMP, yang konon favorit di tingkat
kecamatanku. Persiapan tes yang maksimal mengantarkanku masuk kelas RSBI di
SMA, SMA yang dikenal paling favorit sekaresidenan sehingga tak jarang ada
pelajar dari kota lain.
Impian masuk di PTN harus kulalui dengan
jalan yang tidak mulus, ikut SBMPTN yang ke-3 baru diterima. Mungkin kalau
tidak lolos akan masuk jalur mandiri, tetapi berkat semangat belajar dapat
diterima. Kegagalanku di tes pertama dan kedua tidak mengantarkanku untuk
melakukan perbuatan curang. Memang banyak joki SBMPTN yang berkeliaran dengan
tarif yang mahal bagi kemampuan ekonomi keluargaku. Selain itu, jalur mandiri
di PTN ada yang bilang menjamin diterima. Tentu saja bagi mereka kalangan
menengah ke atas akan menyambutnya dengan antusias. Ada kepuasan dan rasa
bangga tersendiri bisa masuk PTN melalui jalur SBMPTN, yang kerawananan
curangnya kecil dibandingkan jalur lainnya.
Kejujuran
itu memang bisa terasa pahit dan manis. Mungkin terasa pahitnya sementara, bisa
lama atau sebentar tetapi ujung-ujungnya akan terasa manis. Kejujuran yang
ditanamkan Ayah dan Ibu dapat kuat mengakar pada diriku disebabkan suatu hal.
Ayah dan Ibu selalu memberinya pupuk, pupuknya adalah teladan yang baik dari
mereka. Terkadang orang tua ingin agar putra-putrinya bersuara lantang menyebut
dirinya sebagai “Aku Anak Jujur” tetapi mereka justru merusaknya, secara sadar
atau tidak sadar. Contoh yang mudah ditemui adalah pemalsuan identitas SIM agar
anaknya bisa ke sekolah naik sepeda motor. Andaikan saja orang tua sadar bahwa
itu adalah contoh yang fatal, mungkin angka kecelakaan bisa menurun, geng motor
dan balapan liar bisa ditekan. Kalau orang tuaku tentu tidak seperti itu. Aku
ke sekolah SMA naik angkutan umum, kalau ada event tertentu di malam hari ya
diantar Ayah. Kalau anak-anak zaman sekarang disuruh naik angkutan umum pasti
banyak yang menolak, alasannya gengsi. Budaya gengsi hanya untuk sebuah prestige adalah ancaman bagi nilai-nilai
kejujuran. Kehidupan yang sederhana lebih memberikan jaminan terpeliharanya
nilai-nilai kejujuran. Kalau kejujuran sudah menjadi kebiasaan maka akan muncul
penolakan dari dalam diri jika melakukan ketidak-jujuran.
Semoga festival “Aku Anak Jujur” bukanlah
program simbolis semata. Kebanyakan gerakan hanya mem-booming di awal dan lambat laun meredup. Bukan juga gerakan
kampanye kalangan yang ingin menarik simpatisan belaka. Menghidupkan karakter
kejujuran adalah tangung jawab bersama, jika semua pihak sadar tentu akan
berpartisipasi ambil bagian. Cukup mudah dan gampang, berbuatlah kejujuran
mulai dari hal kecil, beri teladan untuk orang sekitar. Kejujuran yang melekat
pada diri membentuk kepribadian yang berkarakter, memberikan ketenangan dan
kenyamanan jiwa.
Mari tanamkan kejujuran mulai dari hal
kecil!
No comments:
Post a Comment