Ruang pameran tulisan segar fiksi & non-fiksi, dilengkapi info lomba penulisan fiksi. Ibarat galeri memajang aneka karya. Kritik dan saran terbuka untuk perbaikan. Selamat berkunjung, semoga ada pesan dan inspirasi yang bisa dibawa pulang.

Menu Nav Bar

Pahit dan Manis dari Kejujuran

Sumber: theunlearn.com
Kejujuran dapat dimaknai sebagai sikap terpuji dan mulia melalui perbuatan tidak berbohong, berkata apa adanya, dan mengakui kesalahan diri sendiri. Tidak semua orang menerapkan sikap kejujuran dalam kehidupan. Berbagai alasan disampaikan untuk membela diri. Memang jujur terkadang terasa pahit, tidak semanis gula yang selalu dikerubutin semut. Namun, kejujuran akan memberikan dampak positif , dalam waktu dekat atau lama, oleh diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, memiliki kepribadian yang selalu mengedepankan kejujuran adalah penting.
Kejujuran akan senantiasa melekat pada diri seseorang jika sudah menjadi kebiasaan. Penanaman sikap kejujuran sejak dini pada anak-anak dapat membentuk kepribadian yang berkarakter. Di era digital sekarang sulit sekali menemukan generasi yang berkarakter kuat, banyak karakter yang tergoyahkan oleh kecanggihan teknologi dan budaya hedonis. Pembentukan karakter bagi anak tidaklah susah dan mahal, tetapi perlu komitmen yang kuat. Sikap kejujuran adalah salah satu karakter penting untuk ditumbuh-kembangkan pada generasi Indonesia sekarang. Tidak bisa dibayangkan di masa depan apakah bisa ditemukan generasi yang menyebut dirinya sebagai “Aku Anak Jujur”. Kondisi sekarang sungguh memprihatinkan lihat saja budaya contek-mencontek masih subur di pelajar, jalur belakang bagi siswa mampu masih terbuka lebar, dan pasar kunci jawaban buka lapak di musim UNAS. Diperparah contoh buruk pejabat negara yang melakukan korupsi semakin merajalela.
Andaikan saja setiap orang tua memiliki kesadaran yang sama, bahwa kejujuran adalah karakter yang harus ditanamkan pada generasi muda sesuai jiwa Pancasila. Mungkin kepribadian luhur yang diteladankan oleh Founding Father bangsa ini akan tumbuh kuat. Secara tidak langsung setiap orang tua akan melaksanakan amanah UUD 1945 dan berkontribusi dalam pembangunan negara. Aksi nyata yang dapat dilakukan tidak mengharuskan orang tua berbekal pendidikan tinggi apalagi ahli di bidang hukum dan politik, cukup bermodal komitmen kuat, meneruskan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
 Pendidikan orang tuaku bisa dibilang rendah, Ayah di bangku SD saja tidak tamat, Ibu lebih baik sedikit karena mampu menamatkan SMP. Mereka memiliki impian agar anaknya kelak bisa menjadi generasi harapan bangsa, tentunya yang berkarakter dan berkepribadian luhur. Bermodal komitmen kuat mereka menanamkan karakter-karakter terpuji, salah satunya kejujuran. Tentu mereka ingin anak semata wayangnya menjadi bagian dari generasi yang layak mendeklarasikan diri sebagai “Aku Anak Jujur”.
Pembentukan sikap kejujuran di keluarga didukung oleh latar belakang adat istiadat Jawa yang masih melekat kental. “Kalau mau pakai barang milik teman, harus izin dulu,” pesan Ibu padaku di waktu kanak-kanak. Tentu di usia balita setiap anak pasti tertarik untuk mencoba mainan milik temannya, sehingga Ibu berpesan agar meminta izin sebelum dipakai, tidak langsung pakai atau ambil. Kalau langsung ambil atau pakai barang milik orang lain tentu dikira orang tuanya tidak mengajari sopan santun. Tentu teman bermainku ada yang mau meminjami dan ada yang melarang, namanya juga anak-anak.
Masuk di bangku SD Ibu mengarahkanku pada budaya anti-contek. “Ibu akan bangga pada hasil jerih payahmu, meskipun jelek. Kalau bagus tapi hasil mencontek, Ibu bakal kecewa,” ucap Ibu padaku. Di sekolah ketika ujian berlangsung aku menemukan teman yang mencontek, melihat catatan atau menyalin pekerjaan teman. Sesuai pesan Ibu, aku harus mengerjakan dengan kemampuanku, memang soalnya susah bagi setiap siswa termasuk aku. Ketika hasil ulangan dibagikan, angka 6 tertulis jelas di pojok kanan atas lembar jawabanku. “Ya tidak apa-apa dapat nilai 6, daripada di bawahnya,” komentar Ibu ketika kuberikan lembar jawabanku. “Nanti dipelajari lagi bagian yang kamu tidak bisa mengerjakan,” sambung Ibu sambil memelukku. Aku senang pada Ibu, kalau teman-temanku dapat nilai jelek justru dimarahi tetapi Ibu tidak seperti itu, Justru Ibu memotivasi dan memuji perjuanganku. Ibu menepati ucapannya yang pernah disampaikan padaku.
Selanjutnya aku selalu membudayakan untuk anti-contek dalam urusan ulangan atau ujian apapun. Pernah ketika di bangku SMA aku memiliki beberapa teman sekelas yang punya budaya mencontek. Kuceritakan pada Ibu tentang kebiasan buruk beberapa teman baru di bangku SMA yang menggoda pertahanan budaya anti-contek. “Kalau terbiasa mencontek, nanti bisa terjebak. Percuma nanti ijazah nilainya bagus, tetapi ketika interview tidak bisa apa-apa,” nasihat Ibu padaku. Semenjak itu aku semakin mantap menerapkan budaya anti-contek hingga di bangku perguruan tinggi. Aku tidak ingin terjebak dan terperangkap pada ranjau yang dibuat oleh diri sendiri.
Sumber: sayangianak.com
Jalur belakang yang mulus tanpa hambatan terkadang menggoda iman. Namun, tidak semua orang bisa mengakses ke sana. Mungkin tahu tapi tidak tahu gerbang masuknya ada di aman, atau tahu gerbang masuknya tapi tak mampu membayar karcis. Ayah dan Ibu tidak pernah mengenalkanku pada jalur belakang. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan selalu menggunakan emampuan yan terwakilkan selembar ijazah atau tes. Berkat nilai UNAS SD dengan nilai rata-rata 8,56 mengantarkanku di SMP, yang konon favorit di tingkat kecamatanku. Persiapan tes yang maksimal mengantarkanku masuk kelas RSBI di SMA, SMA yang dikenal paling favorit sekaresidenan sehingga tak jarang ada pelajar dari kota lain.
Impian masuk di PTN harus kulalui dengan jalan yang tidak mulus, ikut SBMPTN yang ke-3 baru diterima. Mungkin kalau tidak lolos akan masuk jalur mandiri, tetapi berkat semangat belajar dapat diterima. Kegagalanku di tes pertama dan kedua tidak mengantarkanku untuk melakukan perbuatan curang. Memang banyak joki SBMPTN yang berkeliaran dengan tarif yang mahal bagi kemampuan ekonomi keluargaku. Selain itu, jalur mandiri di PTN ada yang bilang menjamin diterima. Tentu saja bagi mereka kalangan menengah ke atas akan menyambutnya dengan antusias. Ada kepuasan dan rasa bangga tersendiri bisa masuk PTN melalui jalur SBMPTN, yang kerawananan curangnya kecil dibandingkan jalur lainnya.
            Kejujuran itu memang bisa terasa pahit dan manis. Mungkin terasa pahitnya sementara, bisa lama atau sebentar tetapi ujung-ujungnya akan terasa manis. Kejujuran yang ditanamkan Ayah dan Ibu dapat kuat mengakar pada diriku disebabkan suatu hal. Ayah dan Ibu selalu memberinya pupuk, pupuknya adalah teladan yang baik dari mereka. Terkadang orang tua ingin agar putra-putrinya bersuara lantang menyebut dirinya sebagai “Aku Anak Jujur” tetapi mereka justru merusaknya, secara sadar atau tidak sadar. Contoh yang mudah ditemui adalah pemalsuan identitas SIM agar anaknya bisa ke sekolah naik sepeda motor. Andaikan saja orang tua sadar bahwa itu adalah contoh yang fatal, mungkin angka kecelakaan bisa menurun, geng motor dan balapan liar bisa ditekan. Kalau orang tuaku tentu tidak seperti itu. Aku ke sekolah SMA naik angkutan umum, kalau ada event tertentu di malam hari ya diantar Ayah. Kalau anak-anak zaman sekarang disuruh naik angkutan umum pasti banyak yang menolak, alasannya gengsi. Budaya gengsi hanya untuk sebuah prestige adalah ancaman bagi nilai-nilai kejujuran. Kehidupan yang sederhana lebih memberikan jaminan terpeliharanya nilai-nilai kejujuran. Kalau kejujuran sudah menjadi kebiasaan maka akan muncul penolakan dari dalam diri jika melakukan ketidak-jujuran.
Sumber: acch.kpk.go.id
Semoga festival “Aku Anak Jujur” bukanlah program simbolis semata. Kebanyakan gerakan hanya mem-booming di awal dan lambat laun meredup. Bukan juga gerakan kampanye kalangan yang ingin menarik simpatisan belaka. Menghidupkan karakter kejujuran adalah tangung jawab bersama, jika semua pihak sadar tentu akan berpartisipasi ambil bagian. Cukup mudah dan gampang, berbuatlah kejujuran mulai dari hal kecil, beri teladan untuk orang sekitar. Kejujuran yang melekat pada diri membentuk kepribadian yang berkarakter, memberikan ketenangan dan kenyamanan jiwa.
Mari tanamkan kejujuran mulai dari hal kecil!
Share:

Buku Antologi - Tanpa Cinta



Judul : Tanpa Cinta
Jenis : Kumpulan FF 500 Kata
Penulis : Marezasutan Ahli Jannah, dkk
Editor : Tiara Purnamasari
Layout : Tiara Purnamasari
Desain Sampul : Roeman-Art
ISBN : 978-602-6362-03-2

Cetakan Pertama, September 2016
218 hlm. ; 13 x 19 cm
Diterbitkan Oleh :
MAZAYA PUBLISHING HOUSE
Kp. Empang, RT 12/RW 03, Desa Arjasari, Kec. Leuwisari, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat 46464
Phone : 085-722-025-109, Email : mazayapublishinghouse@yahoo.com
Website : www.mazayapublishinghouse.blogspot.com

Harga : 
Rp. 56.000,- (umum); 
Rp. 47.000,- (kontributor)
Beli dua buku atau lebih (boleh campur judul), mendapatkan diskon Rp. 3.000,-/buku.
Untuk pemesanan ketik Tanpa Cinta_Nama lengkap_No HP_Alamat lengkap_Jumlah eksemplar
kirim ke 085-722-025-109 atau inbox ke Tiara Purnamasari atau via bbm add pin 7c39e10d
Batas order : 17 – 26 September 2016
Batas transfer : 26 September 2016
Cetak mulai : 27 September 2016

*Bagi yang sudah transfer, harap segera kirim foto/scan bukti transfer lewat inbox ke akun Tiara Purnamasari. Pembayaran tanpa bukti transfer dianggap tidak sah.

*****

“Sampai sekarang, tak ada hubungan baik terbina. Aku juga tak kenal keluarga suaminya yang kaya itu. Cukup kenal duitnya saja. Rasanya sudah cukup. Tak usah yang lain. Paling-paling hidup mereka begitu terus. Membeli cinta, menjualnya, lalu menikmatinya masing-masing. Aku juga menikmatinya sendiri.” (“Tanpa Cinta” karya Marezasutan Ahli Jannah, Juara Utama)

Juara Favorit
Indina Zulfa Ilahy │ Ayuri Hanami │ Annisa Fadillah

Kontributor
│ Wardatul Aini │ Hulya Ashfie │ Nadya Andari │ Muhammad Solihin │
│ Aiyu A Gaara │ Nira Kunea │ Shanaz Nadya│ Kafiyatul Fithri │
│ Ni Made Taniar │ Dean Carla │ Salma Azizah Dzakiyyunnisa │
│ Samudrawan Kertapati │ Christie Angelika │ Niken Firda Andrela │
│ Putri Dewi Pitaloka │ Mukhlis Haka │ Irma Yuliana │ Yusi Kurniati │
│ Regina Angelica │ Luai D. │ Nurvita │ Aisyah Rw │ Eka Oktafiana │
│ Dwi Retno Apriliana Putri │ Ira Andinita │ Afifah Zakiyah │ Ulfa Zulia │
│ Lin │ Melawati Rizki Hawa │ Rissma Inarundzih │ Anggra S. Wijaya │
│ Amika Khoirun Nikmah │ Ulfa Mia Lestari │ Ria Nita Anggreani │
│ Risma Mei Lina │ Nurticia Dewi │ Ina Fatihatul Makiyah │ Dwi Oktaviani │
│ Dahdawi Anka │ Ghina 'Ufairoh Hanifah │ Afifah Salsabila │
│ Sika Indriyawati │ Monika Gisthi Secaresmi │ Auliya Rahmawati │
│ Muhammad Abdurrahman Hidayatulah │ Bikry Faridatur Rofiqoh │
Share:

Kemacetan, antara Gengsi dan Kondisi

Sumber: Detak.Co

Kemacetan sudah menjadi makanan setiap hari bagi meraka yang tinggal di perkotaan besar. Jalanan terlihat dipenuhi kendaraan yang berhenti menunggu waktu giliran untuk bisa berjalan. Kondisi volume kendaraan yang tidak bisa lagi ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia. Kemacetan biasa terjadi pada beberapa titik di sebuah  kota dan pada jam puncak aktivitas manusia. Tentu semua ingin menghindari kemacetan karena rasanya menjenuhkan dan membawa kerugian ketika terjebak kemacetan.
Dampak kemacetan tidak hanya dirasakan oleh pengguna kendaraan yang terjebak kemacetan tetapi juga dirasakan pula oleh pihak yang lain. Ketika terjebak kemacetan mesin kendaraan yang tetap hidup tentu membakar energi fosil yang menghasilkan polusi. Jika puluhan kendaraan terjebak kemacetan maka berapa liter bahan bakar fosil terbuang sia-sia dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Tertundanya aktivitas manusia untuk bekerja berakibat terhambatnya arus perekonomian sehingga pemenuhan kebutuhan hidup tidak lancar. Pengguna kendaraan yang terjebak kemacetan tentu rugi banyak mulai dari waktu dan biaya serta kondisi psikis yang jenuh ketika harus berlama-lama di kendaraan tanpa aktivitas.
Kemacetan terjadi pasti ada penyebabnya. Penyebabnya adalah jumlah atau volume kendaraan melebihi kapasitas jalan yang tersedia sehingga untuk pergerakan tidak ada. Jumlah atau volume kendaraan yang banyak disebabkan pertumbuhan kendaraan yang meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Mayoritas masyarakat perkotaan memiliki kendaraan pribadi. Kondisi jalan yang tidak bisa menambah kapasitasnya untuk menampung kendaraan disebabkan pelebaran jalan yang sudah tidak bisa dilakukan lagi. Di perkotaan sudah tidak ada lagi lahan kosong untuk pelebaran jalan. Dengan melihat penyebabnya maka siapakah yang harus bertamggungjawab terhadap kemacetan?
Masyarakat perkotaan memiliki karakter gaya hidup metropolitan. Kendaraan pribadi menjadi salah satu kebutuhan primer baginya. Pergerakan atau mobilitasnya mengandalkan kendaraan pribadi yang dimiliki. Dengan memiliki kendaraan pribadi bagi sebagai masyarakat dianggap sebagai gengsi tersendiri. Gengsi atas kepemilikan kendaraan pribadi memberikan dampak status sosial yang diperolehnya. Tentu bagi mayoritas orang yang sudah merasa berstatus sosial tinggi akan enggan memilih kendaraan umum sebagai alat transportasinya. Alasanya yaitu biaya dan waktu serta kendaraan pribadinya lebih nyaman. Coba lihat kemacetan di sekitar, pasti antrian kendaraan didominasi oleh kendaraan pribadi. Kemacetan akan semakin parah jika kemacetan yang didominasi mobil pribadi hanya ada satu penumpang. Kondisi ini seperti sekelompok orang yang duduk dengan jarak renggang.
Pemerintah tingkat kota/kabupaten tentu tidak diam saja atas masalah kemacetan di daerahnya. Berbagai peraturan dan kebijakan dilakukan untuk mereduksi timbulnya kemacetan. Pemberlakuan three in one, jalan satu arah, dan pengaturan jam kerja telah dilakukan tetapi tidak bisa mengatasi kemacetan secara total. Sementara itu, kondisi transportasi umum di perkotaan jarang diperhatikan. Sungguh pantas jika masyarakat perkotaan lebih memilih kendaraan pribadi karena kondisinya nyaman. Pengawasan terhadap angkutan umum perkotaan yang ngetem sembarangan, memaksa kapasitas penumpang, dan kondisi kendaraan yang sudah tua atau tidak layak jalan masih minim sehingga masyarakat yang kondisinya kurang beruntung yang menjadi korbannya.

 Sumber: www.tes.com

Kemacetan akan menjadi masalah yang berlarut-larut di perkotaan ketika gengsi msyarakat masih tinggi dan kondisi angkutan perkotaan masih buruk. Ketika pemerintah dan stakeholders tanggap atas permasalahan ini tentu akan membuat regulasi dan revitalisasi untuk angkutan umum perkotaan. Adanya peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum perkotaan dari segi fisik kendaraan dan manajemen transportasi akan menjadikan masyarakat yang kurang beruntung tidak menjadi korban lagi dan masyarakat berstatus sosial tinggi meninggalkan kendaraan pribadinya. Dengan menggunakan angkutan umum akan mereduksi penggunaan energi fosil dan pencemaran lingkungan berkurang serta kondisi jalan tidak penuh kendaraan.
Dalam implementasinya pihak-pihak yang terkait yaitu pemerintah daerah, dinas perhubungan, organisasi angkutan, dan sebagainya harus menjalin kerjasama, kesepakatan, dan komitmen tinggi untuk membuat regulasi dan revitalisasi untuk angkutan umum perkotaan. Diharapkan kemacetan akan bisa diselesaikan ketika kondisi angkutan umum perkotaan sudah sesuai standar operasional dan kesadaran masyarakat tinggi atas kepedulian sosial dan lingkungan.

Tulisan ini telah dimuat dalam Rubrik Opini Majalah KOMUNIKASI UM edisi 298 Mei-Juni 2015
Share:

Pemimpin Daerah dari Rakyat untuk Rakyat

Pesta demokrasi melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan kembali digelar pada Februari 2017 yang tersebar pada 7 Provinsi, 18 Kota, dan 76 Kabupaten di Indonesia. Rakyat akan memilih calon kepala daerah yang akan memimpin selama 5 tahun ke depan. Maju dan berkembangnya suatu daerah selama 5 tahun ke depan hanya ditentukan pada 1 hari penting, yaitu Pilkada. Partisipasi semua rakyat diperlukan untuk menentukan sosok pemimpin daerah yang diharapkan memberikan perubahan.
Rakyat akan dihadapkan pada pilihan sulit, memilih tanpa mengenal dekat dengan sosok calon pemimpin daerah. Kampanye yang singkat hanya bisa memberikan ruang perkenalan sekilas terhadap para calon kepala daerah kepada rakyat. Tentu rakyat harus cerdas dan selektif dalam menentukan pilihan. Hak pilih yang dimiliki setiap rakyat tidak akan sia-sia jika sosok pemimpin pilihannya tepat. Pemimpin daerah yang terpilih wajib mengingat bahwa dirinya dipilih langsung oleh rakyat dan tentunya bekerja memperjuangkan suara rakyat.
Sosok pemimpin daerah yang ideal tidak bisa dinilai secara kaku. Pastinya pemimpin memiliki ciri khas atau karakteristik dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara umum, pemimpin ideal diharapkan mampu memberikan perubahan menuju arah yang baik di setiap sektor kehidupan. Berbekal potensi diri yang dimiliki pemimpin mampu mewujudkan visi dan misi yang nyaring disuarakan ketika kampanye. Rakyat bisa melihat nyata kinerja kepala daerah sebagai sosok pemimpin ideal. 
Berikut gambaran sosok pemimpin ideal yang diharapkan menjadi kepala daerah yang mampu membangun dan mengembangkan daerah sehingga berkontribusi dalam kemajuan Indonesia.
Keimanan dan ketakwaan merupakan landasan utama bagi setiap orang, terutama sosok pemimpin. Pemimpin yang memiliki iman dan takwa yang kuat tentu akan memegang teguh ajaran agamanya. Pembuatan peraturan dan kebijakan tentu akan berpihak kepada rakyat bukan golongannya dan tidak akan menyalahgunakan kewenangannya. Iman dan takwa dari sosok pemimpin akan tercermin pada peraturan daerah untuk menciptakan lingkungan religius dan toleransi umat beragama.  Penciptaan lingkungan religius akan membentuk benteng bagi nilai negatif dampak globalisasi dan aliran radikalisme yang menghantui rakyat Indonesia. Selain itu, kinerja pemimpin daerah yang bersih dari segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam masa jabatannya merupakan bentuk nyata keteguhan iman dan takwanya.
Kepekaan dan mampu membaca situasi sekitar diperlukan bagi pemimpin. Pemimpin diharapkan mampu memberikan respon secara tepat terhadap permasalahan yang terjadi di daerah. Respon yang salah akan berakibat fatal sehingga usaha yang dilakukan akan sia-sia belaka. Pemimpin daerah yang tanggap terhadap situasi dan fenomena yang bisa terjadi mendadak sangat diperlukan. Mengingat beberapa daerah di Indonesia memiliki potensi terhadap bencana alam, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan gunung meletus. Pemimpin yang peka terhadap permasalahan sosial tentu akan segera membuat peraturan dan kebijakan yang membela rakyat. 
Pemimpin ideal memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam menjalankan roda pemerintahan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus disusun secara efisien dengan prioritas kebutuhan di daerah sehingga perekonomian daerah tumbuh dan mencapai kesejahteraan bagi rakyat. Pemimpin daerah diharapkan mampu berkoordinasi dengan SPKD dalam penyusunan APBD sehingga anggaran yang dibuat akan tepat sasarantanpa defisit. Tanpa pengetahuan dan wawasan yang mumpuni dikhawatirkan permasalahan di daerah tidak terpecahkan di setiap sektornya sehingga terjadi ketimpangan. Misalnya, pembangunan infrastruktur telah berjalan dengan baik tetapi kesejahteraan masyarakat menurun yang ditandai angka kemiskinan yang semakin meningkat.
Pemikiran visioner dan sikap tegas dari pemimpin daerah diperlukan sebagai bentuk kesiapan dalam menghadapi globalisasi, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA). Pemimpin daerah harus memiliki strategi dalam jangka pendek dan panjang untuk mengembangkan potensi daerah yang ada. Peraturan dan kebijakan yang telah dibuat harus dijalankan secara tegas dan bijak, tidak mementingkan golongan tertentu. Pertimbangan terhadap dampak lingkungan, sosial budaya, serta ekonomi dijadikan pijakan dalam permasalahan pertumbuhan penduduk yang diikuti peningkatan kebutuhan hunian dan energi.


Pemimpin sebagai teladan dan panutan rakyat. Sosok pemimpin bukan hanya sebagai simbol semata, tetapi harus bisa memberikan contoh baik bagi para rakyat. Kasus korupsi dan narkoba yang terjadi pada beberapa mantan kepala daerah di Nusantara merupakan tamparan keras bagi rakyat Indonesia. Pemimpin yang digadang-gadang untuk menjadi panutan justru telah melukai kepercayaan rakyat. Jika kepala daerah melakukan pelanggaran hukum maka dikhawatirkan rakyat akan mengikutinya. Oleh karena itu, pemimpin ideal harus bisa memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari kepada rakyat. Tentu rakyat telah lama merindukan sosok pemimpin yang hidup sederhana dan memiliki kepedulian sosial.
Pemimpin ideal bukanlah opini semata. Pemimpin ideal diharapkan hadir di tengah-tengah krisis sosok pemimpin daerah yang dapat dijadikan teladan dan panutan. Semoga di Pilkada serentak tahun 2017 muncul banyak pemimpin daerah yang ideal.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Opini SiPerubahan.com
Share:

Gagah yang Lemah: Prinsip Finansial Sebagian Masyarakat Pinggiran

Perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi semakin terasa dan dapat terlihat nyata. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan akses antar wilayah secara nasional dan global semakin tanpa batas. Pesatnya industri untuk menghasilkan produk-produk baru menjadikan setiap waktu dan di mana saja muncul berbagai promosi. Keadaan demikian mendorong masyarakat untuk semakin konsumtif. Arus globalisasi semakin memperkuat perubahan gaya hidup (life style) untuk selalu kekinian (up to date). Tidak jarang banyak orang telah menjadi korban empuk dalam perubahan zaman modern.

Produk gadget, kendaraan, fashion, dan properties merupakan produk unggulan yang bersain secara kompetitif untuk menarik para calon konsumen. Produsen produk tersebut tentu berlomba-lomba menciptakan inovasi dan kreasi sehingga konsumen akan tergiur untuk memiliki dan kecanduan untuk mengikuti produk terbarunya. Masyarakat pinggiran dengan kelas ekonomi menengah tentu akan menjadi sasaran tepat. Secara nyata dapat dilihat pada animo masyarakat untuk selalu memburu dan mengejar produk-produk unggulan untuk dapat dimiliki. Gaya hidup ini menjadikan sebuah prestige sendiri di kalangan mereka. Sebuah kepuasan dan status sosial yang akan melekat pada dirinya adalah tujuan utama mereka. Tidak lagi memandang fungsi utama dari barang yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan. Inilah gambaran prinsip finansial masyarakat pinggiran.

Bantuan sosial pemerintah berupa dana sosial untuk keluarga dan beasiswa untuk pelajar dianggarkan untuk membantu finansial masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Harapannya bntuan pemerintah sebagai bantuan dlam pemenuhan kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Tidak jarang semua orang tanpa terkecuali akan melewatkan kesempatan untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah. Berbagai upaya mereka lakukan, biasanya pemalsuan data atau menyembunyikan harta dan barang yang dimiliki. Kalau ada gratisan, sayang kalau dibiarkan berlalu begitu saja. Padahal, mereka selalu ingin mendapat prestige di kalangannya dan lingkunga tempat tinggalnya. Namun, sekarang rasa gengsi untuk hal itu sudah hilang, atau sudah mati. Dapat dilihat, para pelamar dana sosial atau pelamar beasiswa memiliki gadget dan fashion yang up to date. Sebuah ironi bagi kalangan masyarakat pinggiran.

Gagah yang lemah, merupakan istilah yang tepat untuk masyarakat pinggiran dengan prinsip finansial yang mereka terapkan dalam kehidupan. Selalu ingin up to date dengan produk-produk baru tetapi masih mengharapkan bantuan pemerintah. Pemberian bantuan pemerintah yang tidak tepat sasaran masih sering dijumpai. Jika pemerintah mengelak, yang sebut saja jumlahnya sedikit. Anggap saja pemerintah memang telah berusaha keras tetapi ujung-ujungnya kecolongan. Pemerintah mau disalahkan tentu sulit, jumlah pelamar bantuan dana dibandingkan dengan petugas verifikasi jelas lebih banyak pelamarnya. Semua butuh kesadaran dari tiap individu untuk melakukan kejujuran. Pemalsuan data berupa slip gaji tentu akan lebih mudah bagi para pengusaha atau pekerja swasta dibandingkan PNS.

Ada rasa puas dan bangga bagi mereka yang telah memalsukan data dengan hasil fresh money. Jerih payahnya tidak berat tetapi beruntung, bisa tambah koleksi barang up to date tanpa merogoh dompet. Bagi mereka yang sebenar-benarnya berhak menerima tetapi hasilnya nihil tentu akan kecewa besar. Harapan mendapat bantuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup harus tertunda, atau perlu dikubur dalam-dalam. Bagi yang memiliki pemikiran positif maka akan tetap berjuang mempertahankan hidup dengan apa yang dimiliki dan diberikan oleh Sang Pencipta. Masyarakat pinggiran yang terlena menikmati bantuan dana pemerintah untuk bermewah-mewahan maka diharapkan jangan kaget jika ada kelompok pemalak, preman, perampok, begal, pemerkosa, dan jambret. Itu adalah sebagai luapan emosi kalangan yang terkhianati.

Entah sampai kapan kondisi sosial di masyarakat seperti ini akan terjadi. Jika masyarakat pinggiran masih bernafsu merampas hak-hak masyarakat ekonomi bawah maka angka kriminalitas akan tetap tumbuh. Keberadaan masyarakat ekonomi menengah bawah memang tidak berhubungan langsung dan memberi kontribusi bagi kita tetapi akibat ketidakpeduliaan masyarakat menengah atas akan memunculkan ancaman. Seyogyanya, menjadi masyarakat yang patuh dan tunduk dengan peraturan pemerintah yang ada. Jika tidak maka jangan heran jika kekacauan sosial akan selalu menghantui di manapun kita berada. Jadilah konsumen yang bijak terhadap kondisi pasar yang lagi panas akan promosi produk-produk baru. Bukalah dompetmu sesuai dengan kebutuhan, bukan untuk membeli status sosial atau prestige belaka.
Share:

Popular Posts

Translate

Visitors

Flag Counter

Followers

Recent Posts

SAFORE

SAFORE
Samudrawan Fashion Store

RajaView.id

RajaView.id
Di rumah aja dapat uang mau? Cari tahu jawabannya dengan klik gambar di atas.